Jumat, 02 Desember 2011

Danau Maninjau Kabupaten Agam

Sinar matahari jatuh ke tepian riak. Di Gasang, suasana terlihat lengang. Pemandian Aiaangek juga lengang. Lalu lintas juga sepi. Di jalan di Panurunan, nagari Maninjau, terlihat beberapa orang. Tetapi, tidak seorang pun bule. Suara penghuni rimbo Monggong yang terletak di bukit yang membatasi Tanjuangraya dengan Matua dan Palembayan, menggema.
Itulah ekspresi negeri wisata Maninjau, di tepian dana Maninjau. Tempo doeloe, sebelum Bom Bali, nagari yang ditaruko setelah Sungaibatang itu, begitu terkenal. Menjadi tujuan wisatawan mancanegara di Sumatera Barat. Banyak Wisnu dari berbagai negara Eropa dan Asia datang ke negeri yang sebelum 1970-an terkenal sebagai penghasil cengkeh itu.
Dulu, tatkala aktifitas kepariwisataan begitu menonjol, industri wisata juga tumbuh subur. Banyak home stay, coffe shop dan rental motor dan sepeda. Juga ada taman bacaan. Jasa guide pun tersedia. Yang tidak ada adalah cinderamata. Kini, suasana sudah berubah. Maninjau tidak lagi menjadi tujuan wisatawan. Nagari di salingka danau itu sepi-sepi saja.
Secara alami, Maninjau memang memikat. Hamparan 99, 5 km2 dan topograpi yang heterogen di sekelilingnya, membuat negeri yang dibuka 1782 itu, punya pesona yuang diakui wisatawan lokal, nusantara dan mancanegara. Dengan ketinggian 461, 50 mdpl ( meter di atas permukaan laut ) dan kedalaman sampai 495 meter, danau vulkanik akibat meletusnya danau Minjau itu, jadi andalan Agam sebagai DTW ( Daerah Tujuan Wisata ) yang dijual.
Banyak yang bisa dilihat di seputar Tanjuangraya. Bukan saja wisata budaya, tetapi juga sejarah seperti rumah buya Hamka. Atau daya tarik alam lainnya. Ada dua tempat berleha-leha, yakni Muko Muko dan Linggai. Tetapi, Linggai yang menghabiskan dana cukup banyak, tidak terurus. Muko Muko hanya apa adanya saja.
Pemkab Agam selalu menggaungkan kekayaan objek wisatanya. Namun, hakikatnya Agam tidak memiliki Renstra yang nyata dengan program. Bisa dikatakan tidak ada program pembangunan kepariwisataan. Contoh kasus, yakni Muko Muko dan Linggai yang semakin merana.
Perairan danau di kawasan taman Muko Muko, mestinya bisa dijadikan tempat rekreasi keluarga. Misalnya, dengan menyediakan sepeda air. Sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari taman, yakni pulau Lagenda, bak permata tanpa cahaya. ketika dikelola pengusaha anak nagari,Sabri,pulau itu jadi tujuan wisata. Namun setelah Sabri wafat, pulau dibiarkan. Pemkab bersikap tidak tahu menahu.
Tidak adakah upaya Pemkab mengembangkan potensi wisata danau Maninjau? Ada yang seharusnya perlu diketahui, yakni apa dan bagaaimana bentuk Rencana Strategis Pembangunan dan Pengembangan Kepariwisataan Agam? Mungkin ada, tetapi hanya ada di buku, tanpa adanya aprogram realistis.

1 komentar: